Kebesaran Tanpa Kemegahan


Oleh : Ustadz Mohammad Fauzil Adhim
Inilah kesaksian Umar bin Khaththab tentang kekasihnya, Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ia memasuki Rasulullah saw., ia dapati Nabi saw. sedang berada di tempat minumnya. Tampaklah guratan-guratan tikar membekas di punggung Rasulullah saw. dan hanya gantangan gandum yang tergantung di rumahnya. Tak terasa, airmata menetes di pelupuk mata Umar bin Khaththab. Ia tak kuat menahan haru. Di hadapannya seorang manusia besar yang amat berpengaruh, tetapi tak ada yang ia miliki di rumah.
Umar bin Khaththab kemudian berkata, “Wahai Rasul Allah, engkau telah mengetahui gaya hidup Kisra dan Kaisar.”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai putra al-Khaththab, relakah engkau jika akhirat menjadi milik kita dan dunia menjadi milik mereka?”
Inilah jawaban Rasulullah saw., memimpin yang sering menghabiskan waktunya untuk menahan lapar dan menangisi ummatnya. Ia sangat murah hati kepada setiap yang membutuhkan. Kedermawanannya telah menghapus airmata orang-orang papa dan menumbuhkan kebahagiaan orang-orang yang tak berpunya. Tetapi terhadap dirinya sendiri, ia kadang bahkan harus menyelipkan beberapa buah batu agar lapar yang melilit itu tak terlalu terasa.
Inilah Nabi saw., pemimpin yang kasih-sayangnya mendahului kemarahannya. Ia lebih mudah luluh, hatinya mudah tersentuh, bahkan terhadap mereka yang tidak mau beriman Allah dan rasul-Nya. Amat pedih dirasakan olehnya penderitaan ummat manusia, dan amat besar keinginannya untuk membawa manusia pada keselamatan. Begitu besarnya keinginan untuk mengantarkan hidayah, sampai-sampai tak dirasakan olehnya hidup yang berat bagi dirinya. Tetapi kalau ia menyaksikan orang lain sedang ditimpa kesusahan, ia lebih dulu mengulurkan bantuannya daripada orang lain.
Inilah Nabi Saw, pemimpin sejati yang selalu memikirkan umat bahkan hingga detik-detik ketika malaikat maut menjemput untuk mencabut ruhnya yang suci. Kepada kita, Nabi Saw mengajarkan tentang betapa kecil dunia dibandingkan kebahagiaan akhirat. Nikmat yang kita rasakan hari ini, tak sebanding bahkan dibanding satu tarikan nafas karunia Allah ’Azza wa Jalla di surga.
Ini bukan berarti perintah agar kita meninggalkan kehidupan dunia, tetapi agar kita menggunakan dunia sebagai kendaraan untuk menuju kerajaan Allah Yang Tertinggi, yakni surga-Nya yang disediakan untuk para nabi, syuhada, mukhlishin dan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.
Hari ini, ketika beribu-ribu saudara kita ditimpa kesusahan karena kebutuhan hidup yang semakin tak teraih, rasanya amat besar kerinduan kita terhadap pemimpin-pemimpin sejati seperti Rasulullah Saw. dan para shahabat yang mulia. Kita menanti, kapankah datangnya seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz; seorang khalifah yang sering tidak mendapati makanan yang layak. Padahal, ia telah mengantarkan rakyatnya pada kemakmuran yang luar biasa. Ia menahan diri dari yang halal, kecuali sangat sedikit, hanya karena takut terjatuh pada perbuatan zalim.
Ia membangun kebesaran tanpa kemegahan dengan kekuatan jiwa dan ruhiyahnya. Sementara di negeri ini, kita mendapati kemegahan tanpa kebesaran. Kita memiliki gedung-gedung megah, tetapi harga diri sudah tak ada lagi. Bahkan, mereka yang disebut ustadz pun tak sedikit yang minder jika tidak kekayaan bertumpuk. Mereka lebih memuliakan orang kaya daripada pejuang yang bertakwa. Akibatnya, dakwah mereka kering dan wibawa mereka nyaris tak ada. Inginnya menjaga muru’ah, tapi justru kehilangan ‘izzah dakwah.
Semoga Allah menolong kita.

Posting Komentar untuk "Kebesaran Tanpa Kemegahan"